Friday, July 2, 2010

Rezeki: Nikmat & Derita

Apa yang terlintas di benak banyak orang ketika saya menyebutkan satu kata: REZEKI? Mungkin hampir semua orang menilai sebuah rezeki adalah sesuatu yang bersifat menyenangkan, membanggakan dan mampu memuaskan nafsu duniawi. Yang sering dianggap sebagai rezeki adalah harta, tahta dan hal-hal lainnya yang menyilaukan mata kita di dunia.

Dalam menempuh pendidikan di Universitas Kehidupan yang sedang saya jalani sekarang, saya sedang mempelajari materi tentang apa sih sebenarnya Rezeki itu? Apakah benar rezeki itu hanya berhubungan dengan hal-hal yang menyenangkan? Disaat kita bersyukur kepada Sang Pencipta, biasanya kita baru akan ingat mengucap rasa syukur dengan melafaskan "Alhamdulillah..." saat kita mendapat kesenangan; seperti dapat uang lebih, naik jabatan, dapat hadiah dan lain sebagainya yang menurut manusia enak. Tapi disaat kita dilanda musibah atau mendapatkan kesulitan, kata "Alhamdulillah" pasti tidak akan terucap baik di hati apalagi di bibir kita.

Suatu hari dalam perjalanan saya menuju ke suatu tempat, saya duduk di kursi supir mobil saya dan termenung karena kondisi jalan yang macet dan tidak bergerak sama sekali. Tak lama kemudian smartphone saya berbunyi, tanda saya mendapat pesan lewat layanan messenger di smartphone saya. Ketika saya buka dan setelah saya baca isi pesan itu, rasanya saya seperti ditonjok di siang hari yang panas terik dan tidak bisa membalas nonjok karena tangan saya diikat.

Isi pesannya sedikit panjang, tapi menurut saya mempunyai arti yang sangat dalam:

Sering kali aku berkata, ketika orang memuji milikku,
bahwa sesungguhnya ini hanya titipan,
bahwa mobilku hanya titipan Nya,
bahwa rumahku hanya titipan Nya,
bahwa hartaku hanya titipan Nya,
bahwa putraku hanya titipan Nya,

Tetapi, mengapa aku tak pernah bertanya,
Mengapa Dia meitipkan padaku?
Untuk apa Dia menitipkan ini padaku?
Dan kalau bukan milikku, apa yang harus aku lakukan untuk milik Nya ini?
Adakah aku memiliki hak atas sesuatu yang bukan milikku?
Mengapa hatiku justru berat, ketika titipan itu diminta kembali oleh Nya?

Ketika diminta kembali,
aku sebut itu sebagai musibah,
aku sebut itu sebagai ujian,
aku sebut itu sebagai petaka,
aku sebut dengan panggilan apa saja
untuk melukiskan bahwa itu adalah derita.

Ktika aku berdoa,
kuminta titipan yang cocok dengan hawa nafsuku,
aku ingin lebih banyak harta,
ingin lebih banyak mobi,
ingin lebih banyak rumah,
ingin lebih banyak popularitas,
dan aku akan menolak sakit
dan aku akan menolak kemiskinan.

Seolah semua "derita" adalah hukuman bagiku.
Seolah keadlian dan kasih Nya harus berjalan seperti matematika:
aku rajin beribadah, maka selayaknyalah derita menjauh dari aku,
dan nikmat dunia kerap menghampiriku.
Kuperlakukan Dia seolah mitra dagang,
dan bukan kekasih.
Kuminta Dia membalas "perlakuan baikku",
dan menolak keputusanNya yang tidak sesuai keinginanku.

Gusti,
padahal tiap hari aku ucapkan,
hidup dan matiku hanyalah untuk beribadah...
"ketika langit dan bumi bersatu, bencana dan keberuntungan sama saja".
(WS Rendra)


Dalam ketermenungan saya, otak saya seolah berputar dan hati saya berbicara, bahwa sesungguhnya apa yang kita sebut dengan "derita" bukanlah selalu bencana buat kita. Dan sebaliknya, apa yang kita sebut dengan "nikmat" bukanlah selalu yang baik buat kita. Nikmat dan derita yang kita alami dalam hidup ini, adalah rezeki yang patut disyukuri. Tinggal bagaimana kita sebagai manusia menilai bentuk dan melihat nikmat dan derita yang kita alami lebih dalam lagi.

1 comment:

  1. Dari sebuah musibah bisa diibaratkan sebagai ujian karena terselip faktor yang bisa membuat kita lebih baik. Begitu pun dengan nikmat, meskipun tidak di vonis sebagai derita tapi terselip suatu beban yang harus dapat dipertanggung-jawabkan. Semua itu kembali pada diri masing2, semoga senantiasa membawa diri pada arah & sikap syukur nikmat.

    Terima kasih atas pencerahanya, salam hangat!

    ReplyDelete